Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Padjajaran Bandung
Wacana 3

Home

Pengurus | Agenda Terbaru | Organ Taktis | Contact Us | Wacana | galeri

Gerakan Mahasiswa Perlu Dievaluasi
ditulis oleh Ikhwan Al- Jazury
Posted on 12 Jan 2003

Sepanjang sejarah gejolak politik bangsa Indonesia dalam menentukan roda dan arah perjalannya, tampaknya tidak pernah terlepas dari peran serta kaum muda dalam agresifismenya membangun sebuah transformasi sosial.

Kaum muda ini, tergabung di dalamnya berbagai elemen pemuda, pelajar, dan mahasiswa. Sejak awal zaman pergerakan telah berhasil merumuskan sebuah platform perjuangan bangsa Indonesia seperti yang dilakukan oleh Soekarno, Tjipto Mangunkusumo, Agus Salim, dan kawan-kawan.

Kemudian pada masa revolusi fisik juga banyak berperan kaum muda seperti: Adam Malik, Wikana, Sayuti Melik, dan sejumlah tokoh pemuda lainnya; Masa demonstrasi sepanjang tahun 1966 yang sering disebut angkatan paling heroik dalam panggung sejarah politik Indonesia karena keberanian dan keberhasilannya menumbangkan Orde Lama, tergabung di dalamnya sejumlah tokoh seperti: Cosmas Batubara, Marie Muhammad, Marsilam Simanjuntak, dan sejumlah lainnya yang pada umumnya kemudian memegang posisi strategis masa pemerintahan Orde Baru; Dan sepanjang tahun 1970-an yang dikenal dengan peristiwa Malari, yaitu gerakan menentang masuknya investasi asing terutama Jepang ke Indonesia. Tokoh pemuda yang terlibat dalam angkatan 70-an ini antara lain Hariman Siregar dan Syahrir.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa para pemuda, pelajar, dan mahasiswa memang selalu memegang peranan penting pada setiap momentum dan pergolakan dalam sejarah. Namun kelompok yang paling signifikan dalam menentukan arah jarum politik Indonesia adalah mahasiswa dengan intensitas gerakannya yang menyejarah. Tahun 1998 kemarin mahasiswa berhasil menuliskan kembali pena gerakannya dengan menumbangkan Orde Baru.

Gerakan mahasiswa, secara keseluruhan, harus selalu menjadi Avant Garde bagi arus resistensi masyarakat atas otoritas negara, karena sejauh ini ternyata reformasi yang pada mulanya dianggap sebagai pintu gerbang utama perubahan, ternyata hanya mampu menurunkan simbol kediktatoran rezimnya saja, belum pada tatanan atau sistemnya yang sudah mengurat akar.

Reformasi telah gagal, berarti telah gagal pula perjuangan mahasiswa Indonesia, mengapa? Karena hasil perjuangan 1998 kemarin tidak membuahkan perubahan yang cukup berarti. Evaluasi kegagalan ini antara lain: pertama, karena lambatnya respon terutama dari mahasiswa sendiri terhadap peluang lahirnya demokrasi.

Masa pemerintahan Gus Dur kemarin yang kerap kali melontarkan wacana pro-demokrasi, sedikitnya memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Namun sayangnya tidak dibarengi oleh elemen pro-demokrasi lainnya sepagai sparing partner untuk lantas memimpin gerakan di berbagai daerah. Mahasiswa gagap dalam mengambil peluang ini.

Basis massa, mulai dari buruh, petani, nelayan, dll., terabaikan sehingga tidak mengalami perubahan nasib dan malah tambah terpuruk dalam situasi krisis yang dipicu dan diperparah oleh negara yang hanya memihak kepada yang bayar, para konglomerat, dan pengusaha kelas kakap. Maka di sinilah relevansinya mahasiswa memfokuskan perjuangan transformatif.

Kedua, belum menyentuh basis massa. Perjuangan mahasiswa seharusnya sudah melakukan proses-proses internalisasi di masyarakat dengan cara mengembangkan potensi-potensi politik, ekonomi, dan kultural masyarakat sehingga bisa membuatnya mandiri dari intervensi yang dilakukan oleh negara.

Potensi ini misalnya dalam bentuk penyadaran masyarakat akan hak-hak dan kebebasan mereka dalam politi,k, misalnya dengan menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan hidupnya, seperti harga gabah untuk kalangan petani, penguatan posisi tawar-menawar kaum buruh dalam berhadapan dengan kekuatan modal, dan pembatasan wewenang pemerintah yang seenaknya menaikkan harga-harga, serta kebijakan lainnya yang dipandang merugikan masyarakat pada umumnya. Sehingga mayarakat bisa berbebas dari kendala-kendala sosial yang biasanya menjelma sebagai kekuasaan yang menindas, terbebas dari kendala-kendala internal (psikologis), dan terbebas dari kondisi ketidaktahuan.

Ketiga, kurangnya totalitas dalam setiap issu perjuangan, artinya perjuangan mahasiswa, hari ini, harus sudah keluar dari mainstream berpikir yang dibatasi oleh identitas dan kepentingan internal kelompok, untuk mulai konsen pada setiap permasalahan sosial yang timbul sebagai akibat dari sistem dan struktur yang tidak pernah berpihak pada masyarakat marginal, kelas menengah ke bawah (ekonomi) yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung, dengan akses kebijakan pemerintah, karena lingkup perjuangannya pada wilayah society, bukan wilayah state, serta di sini mengandaikan bahwa arogansi identitas atau kepentingan bukan merupakan prioritas bersama-sama mengidentifikasi apa yang disebut keadilan di dalam sistem dan struktur itu bekerja, hingga bagaimana mentransformasikannya secara bersama-sama pula, karena signifikansi sebuah gerakan adalah terletak pada solidititas gerakan itu sendiri.

Ironis sekali jika perjuangan mahasiswa berada pada level state, bermain pada tataran kepentingan, lantas sok heroik berteriak-teriak sebagai kelompok penenkan (pressure group) yang solid, bukan kelompok kepentingan (interest group) sehingga terpecah-pecah.

Keempat, tidak terstruktur membentuk satu formulasi gerakan sehingga terkesan parsial dan targetan secara makronya pun belum jelas. Mahasiswa sebagai agen of sosial change seharusnya pandai menjemput issu di tiap-tiap daerah secara menyeluruh, bukan hanya advokasi untuk kasus-kasus yang sifatnya besar dan mendesak saja, tapi menyusunnya menjadi satu kesatuan strategi yang tentunya secara kualitas akan lebih massif dan produktif.

Terakhir, kepedulian kalangan mahasiswa yang baru hanya sebatas sebagai relasi dan reaksi dari kebijakan-kebijakan elit politik sehingga dalam menyelesaikannya pun hanya menyentuh pada permukaannya saja, tidak pada substansinya. Misalnya jatuhnya Soeharto tidak dibarengi dengan adanya usaha-usaha transformatif di berbagai aspek dan sendi kehidupan, adanya aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang otoriter, tidak dibarengi oleh proses penyadaran di tingkat bawah (grassroot) sehingga seringkali tidak dipahami oleh masyarakat yang sebenarnya sedang diperjuangkan haknya.

Perlunya evaluasi dari gerakan mahasiswa adalah agar adanya refleksi ke internal mahasiswa sendiri, sejauh mana soliditas dan loyalitasnya terhadap perjuangan basis rakyat? Strategi apa yang akan diusung untuk mewujudkannya? Sehingga pergerakan mahasiswa akan benar-benar murni merupakan perjuangan kerakyatan, dan dengan demikian tuduhan sok heroik karena nostalgia sejarah mencatat prestasi gemilang gerakan mahasiswa sejak zaman pergerakan hingga pasca-reformasi kemarin, tidak menemukan alasannya yang tepat.

Bersatulah mahasiswa Indonesia! Kita siapkan agar perubahan itu datang besok pagi!!

Enter content here

Enter supporting content here