Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Padjajaran Bandung
Esai Lepas

Home

Pengurus | Agenda Terbaru | Organ Taktis | Contact Us | Wacana | galeri

Kolom Khusus Esai Ardabili

L  Calon Pendemo  L

(Posted on Desember 2002) 

 

Dalam suatu perjala-nan menuju kampus, di tengah himpitan penumpang angkot yang berjajar 7/5, teman karib saya mengusik konsentrasi saya yang sedang khusuk memandangi seorang mahasisiswi yang duduk di depan saya dengan perta-nyaan yang tadinya saya anggap biasa saja. Eh, tau nggak, kemarin himpunan anu ngadain demo di gerbang Unpad. Saya pikir ah biasa saja, karena memang saat ini cukup banyak isu yang layak untuk diangkat. Respon kamu koq pasif gitu sih, sebagai aktivis kamu itu harus kritis! Lho, apa ini, pagi-pagi sudah melancarkan doktrin ala pimpinan pergerakan. Mana seenaknya main klaim sebagai aktivis lagi, lihat dong tampang saya, trendi plus necis. Saya pun mencoba membela diri, Lha apanya yang perlu dikritisi?, setengah membentak dia menjawab ya..... itu, mereka itu melaku-kan aksi dengan melibatkan anak-anak! Sesaat saya termenung, ini baru menarik. Metode aksi macam apalagi ini, penggalangan massa mul-tilevel, propaganda lintas generasi, ataukah ini semacam aliansi taktis baru antara kader komisariat SD dengan kader mahasiswa? Entahlah, tapi yang jelas di sini ada suatu setting lapa-ngan khusus yang bertujuan untuk mendramatisir suasana dan memancing sensitivitas humanisme kita sampai menyita perhatian publik. Dan itu sah-sah saja dalam pemetaan lapangan suatu aksi, karena memang itu targetan utama dalam pelak-sanaan sebuah aksi hingga akhirnya memunculkan opini publik. Tapi haruskah kita melibatkan anak-anak?

Saya merasa yakin benar anak-anak itu belum cukup betul basis wacana mereka, analisis situasi, apalagi pemetaan lapangan yang memunculkan kesada-ran afektif mereka untuk melakukan aksi. Kalo toh itu cuma sebatas hal yang bersifat subordinatif, ya minimalnya mereka harus menjadi bagian dari isu yang mereka bawa. Jika tidak, sebaiknya jangan dulu lah kita menyertakan anak-anak itu dalam aksi terbuka. Kalaupun alasannya kuat, faktor mental seusia mereka juga harus dipertimbangkan.

Atau ini adalah semacam pendidikan aksi yang diperuntukkan bagi usia dini. Jika itu semua benar, tentunya kita semua tidak usah khawatir kehabisan stok pendemo - pendemo ulung dimasa mendatang . . .

 

 

 

FENOMENA TOPLES

(Posted on March 2003)

 

Dikampung-kampung kita, kalau lebaran tiba, pemandangan paling menarik adalah diruang tamu, dimana disana telah tertata suatu formasi toples-toples kue dengan konfigurasi yang bermacam-macam, yaitu dengan komposisi kue dan makanan yang berupa-rupa pula. Dan tangan kita bebas mengisi kantong-kantong baju dan celana kita dengan suguhan-suguhan tersebut. Biar dapat berkah silaturahmi katanya.

Tetapi kita harus hati-hati dan cermat, jika tidak akan kecewa. Kenapa? Karena toples-toples-toples kadang menipu. Sang Sohibul bait kadang sengaja menyuguhkan isi toples yang tidak sesuai denga toplesnya. Dua toples yang sama-sama bermerk kue bikinan Swiss, kadang isinya beda. Maksud hati mencicipi kue, apalah daya kerupuk kudapat.

Dan fenomena toples, kini merambah tidak lagi dalam lingkup makanan, tapi telah masuk kewilayah yang lebih serius lagi, yaitu dunia akademis. Loh koq bisa? kecanggihan dunia akademis, apalagi produk-produk kampus instan, ternyata menghasilkan lulusan-lulusan instan juga, dengan tentu saja kualitas instan. Kampus-kampus yang kini telah banyak menjadi instrumen kapitalisasi global, yang money oriented hanya mencetak sarjana-sarjana bertoples elit, tapi hanya kualitas kerupuk, yang kalau kena angin profesionalisme, jadi melempem. Dua toples sarjana yang sama-sama bermerk SE atau SH, kadang isinya beda. Apalagi merk kini sudah banyak dijual untuk kepentingan komersial.

Kekuatan Sebuah Bungkus Kacang

Ardabili, Posted on Saturday 1 April

 

Kalau anda menyempatkan diri untuk mengamaati lingkungan sekitar kampus Universitas Padjadjaran, hal yang paling menyita perhatian kita adalah pamflet. Keberadaannya tersebar merata di seluruh pelosok fakultas, terlebih di papan pengumuman, di tembok kelas,  mesin ATM, batang-batang pohon, pos satpam, atau lebih kurang ajar lagi di kaca mobil dosen. Semua tidak ada yang luput dari kertas segi empat berukuran 8½ x 11 inch itu.

Sebagai salah satu instrumen publikasi, pamflet memiliki beberapa keunggulan bila dibanding dengan instrumen lain yang memiliki fungsi sejenis. Selain murah, gampang dibikin, creativable, mudah direproduksi (buat bungkus kacang, misalnya), pamflet juga memiliki kekuatan dan kemampuan propaganda yang terbukti sangat ampuh.

Tidak percaya? Fakta telah membuktikan (sebagai studi kasus), kemenangan seorang mahasiswa dalam memperebutkan kursi pimpinan (ketua senat, BPM, BEM, atau HMJ) misalnya, lebih dari 30% ditentukan oleh faktor kampanye dan publikasi, yang tentunya tidak lepas dari jasa pamflet-pamflet ini.

Karena itulah pmflet kini telah mengalami pergeseran secara fungsional, dari sebuah alat distribusi informasi, kemudian menjadi komponen utama dari setiap pergerakan. Sebuah organisasi, melalui pamflet, bisa saja membikin klaim-klaim pernyataan, bahkan kecaman-kecaman terhadap lawan politiknya, sehingga menimbulkan psy-war. Dan itu sah-sah saja, karena itu nantinya yang akan menjadi bahan penilaian bagi publik yang membacanya.Tapi 'perang pamflet sudah tidak sehat lagi manakala salah satu kelompok meng-embargo opini dengan mencabuti pamflet yang ditempel oleh rival pergerakannya tersebut. Hal ini justru menampakkan ketidakmampuan kelompok tersebut dalam mengimbangi lawannya, baik dalam hal kreativitas, manuver, propaganda, maupun klaiming.

Atau kasarnya itu merupakan salah satu manifestasi dari sikap kepengecutan mereka.

 

Anda juga bisa membaca artikel ini di Bulletin ngGrundel.