Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Padjajaran Bandung
Wacana 2

Home

Pengurus | Agenda Terbaru | Organ Taktis | Contact Us | Wacana | galeri

Eksplorasi Perbedaan
Ditulis oleh Boy Ms
Posted on Feb 31 2003

Perbedaan adalah sumber konflik, ya dari perbedaan pen-dapat, gender, etnis, bahasa, agama, dan lain-lin. Konflik bisa dimulai dari hal-hal tersebut. Untuk mudahnya konflik yang dimaksud adalah pertenta-ngan.

Pada umumnya ma-nusia lebih menyukai kesama-an daripada perbedaan. Bisa dibayangkan kalau dalam satu pergerakan massal, massa yang ada ternyata berisi orang-orang yang berbeda pandangan terhadap aksinya itu, atau di dalam penyeleng-garaan pemerintahan, jabatan yang ada diisi oleh orang yang punya kepentingan masing-masing, maka pemerintahan itu tinggal menunggu keruntu-han saja.

Tetapi bagaimana dengan keyakinan bahwa perbedaan itu justru meru-pakan kekuatan potensial yang harus diberdayakan, walaupun pada kenyataannya belum ada formulasi pendaya-gunaannya, tampak keyakinan itu lebih utopis daripada rea-listis, mengapa? Karena tak dapat dipungkiri bahwa sela-ma ini seringkali yang nama-nya perbedaan menjadi pemicu malapetaka kemanu-siaan. Contohnya saja, rasis-me, peperangan antar suku atau agama, fanatisme ideo-logi, atau tragedi si kuat dan si lemah.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya perbedaan itu sendiri, maka kehidupan jadi tampak menarik untuk diceritakan, dikaji, dan diteliti oleh ilmu pengetahuan. Tapi, yang harus disikapi dengan kritis adalah agar keyakinan itu tidak menjadi boomerang, sebab dengan bahaya laten perbedaan yang destruktif te-lah sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk kepen-tingannya sendiri. Mungkin sekali keyakinan terhadap sisi positif perbedaan hanya dimi-liki oleh orator-orator manipu-latif, karena dengan pidatonya tersebut, ia berusaha menarik massa, lalu menggerakkannya untuk kepentingan politis yang belum tentu baik. Lalu bagai-mana agar hal tersebut jangan sampai terjadi?

Yang harus dicoba adalah agar senantiasa sikap objektif tetap terjaga. Sebab, selama masih ada orang yang mampu bersikap objektif dalam setiap kondisi selama itu pula keberhasilan untuk keluar dari situasi sulit menjadi terwujud. Utopia-utopia itu sering memanipulasi perasaan - perasaan, hingga kebutaan rasio mengudungi perbedaan. Dan kekecewaan-kekecewaan publik tinggal untuk menghantui kehidupan bermasyarakat.

Lalu bagaimana se-harusnya mengambil sikap dalam menanggapi perbeda-an? Jika diambil sebuah analogi, maka tubuh manusia sangat cocok untuk diambil sebagai contoh. Tubuh ma-nusia terdiri dari rangkaian organ yang sangat berbeda sekali bentuk dan fungsinya, walaupun demikian menjadi satu kesatuan ketika menja-lankan gerak sensoris dan motoris. Selain itu juga ada ± 100 trilyun sel yang menyusun tubuh manusia dan masing-masing sel menjalankan fung-sinya tersendiri. Bisa diba-yangkan 100 trilyun itu seperti apa banyaknya. Demikian juga bisa dibayangkan per-bedaan yang ada. Di balik semua itu ada kekuatan hebat yang mampu mengkoordina-sikan perbedaan-perbedaan tersebut. Seandainya saja ada orang yang tetap konsisten memikirkan formulasi yang harus dibuat untuk menda-yagunakan perbedan (orang kritis) tentu ada kemungkinan besar untuk berhasil dalam mencari solusinya, solusi ter-baik untuk menetralisasikan perbedaan yang ada di te-ngah-tengah kemiskinan inte-lektual.

Pertanyaannya ada-lah adakah orang atau ind-ividu yang mau dan mampu bersikap kritis terhadap pesan dan informasi dari sejarah tentang tragedi kemanusiaan akibat kejamnya konflik perbedaan?.

Selama poros bumi masih berputar pada tem-patnya, selama itu pula kemungkinan solusi inovatif untuk mengelola perbedaan senantiasa terbuka menunggu antusiasme kreativitas manu-sia. Dan dengan demikian eksplorasi perbedaan akan selalu memberi lapangan pekerjaan bagi anak manusia menuju perwujudan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Apakah ini semacam utopia versi baru? Tidak, sebab sangatlah realistis kalau setiap manusia di muka bumi ini menginginkan yang terbaik bagi hidupnya. Di tengah-tengah centang pene-rangnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada di depan mata (bangsa Indone-sia) masih adakah generasi-generasi yang sibuk dengan ide-ide dalam memformulasi-kan solusi terbaik dalam memecahkan kabut-kabut te-bal masalah kesejahteraan rakyat? Itu pertanyaan usang, tapi masih mandul dengan jawaban produktif, setidaknya itu bisa dilihat pada kemam-puan mengeksplorasi perbe-daan yang ada pada generasi yang ada hingga saat ini.M

(***)

Enter supporting content here