Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Universitas Padjajaran Bandung
Wacana

Home

Pengurus | Agenda Terbaru | Organ Taktis | Contact Us | Wacana | galeri

Empati : Paradigma Toleransi
ditulis oleh : M. Arief Modjo
Posted on 23 March 2003

Anda semua pasti sudah mengetahui bahkan jauh se-belum artikel ini ditulis bahwa didalam kehi-dupan manusia, perbedaan adalah suatu hal yang biasa kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Perbedaan-perbedaan tersebut diantara-nya; perbedaan suku, ras, agama, golongan, orientasi idiologi, sex, dan sebagainya. Perbedaan, terkecuali sebagai rahmat juga bisa menjadi bom waktu yang bisa booming kapan saja dengan atau tanpa kita menyadarinya. Dari kecil, kita telah mengalami sejarah kehidupan yang meliputi pola pendidikan lingkungan, adat istiadat, tuntutan socio-cultural dan, kepentingan yang ber-beda. Dalam perjalanan ke-hidupan kita, kita akan dan pasti bertemu dengan orang-orang yang berasal dari daerah dan juga mungkin sejarah kehidupan yang ber-beda dengan kita, dan selanjutnya menjalin interaksi.

Dari interaksi ini pasti akan terjadi pula proses Tawar-menawar diantara orang-orang yang berbeda untuk mewujudkan keharmo-nisan dalam interaksi sosial diantara mereka. Ketika pro-ses tawar menawar itu gagal atau ketika deal-deal dalam proses tawar menawar itu dilanggar oleh salah satu atau kedua belah pihak, maka benturan-benturan yang di-picu oleh perbedaan masing-masing sangat memungkin-kan untuk memicu lahirnya sebuah konflik yang destruktif;  akan tetapi ketika deal-deal dalam tawar menawar itu di-taati dari keberbedaan ter-sebut akan lahir sebuah har-moni dalam interaksi antar manusia.

Kita sebagai manusia secara fitri mempunyai kecen-derungan untuk mengidenti-fikasikan diri kita terhadap se-seorang atau suatu kelompok sosial tertentu, malahan se-belum kita menyadari akan potensi kita, kecenderungan tersebut sudah berkembang dalam lingkungan keluarga, suku, bagsa, ras, dan kelas sosial tertentu.

Sayangnya, dengan pem-bentukan struktur kelompok timbullah pula perasan antara anggotanya. Hal ini dikarena-kan tujuan kelompok adalah khas bagi kelompok yang bersangkutan, demikian pula ciri-ciri pribadi dan kecaka-pan-kecakapan anggota-ang-gota serta interaksi kearah tujuan kelompok tersebut. Oleh karena itu struktur ke-lompok yang bersangkutan merupakan ciri khas pula.

Sesuai dengan keadaan didalam maupun diluar kelom-pok, ada hal yang disebut perasaan dan identias in group (kelompok dalam) yang didalamnya mencakup soli-daritas, penegasan norma-norma kelompok, internalisasi norma-norma, membership, dan reference group (Baca; Paradigma) yang tegas di-batasi oleh sikap perasaan out group (kelompok luar).

Meninjau pada teks Suci Agama Islam yang berbunyi, Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perem-puan dan menjadikan ber-bangsa-bangsa dan bersuku-suku agara kalian saling mengenal (Q.S 49:13). Idealnya perbedaan-perbeda-an yang ada justru ditujukan untuk memperkaya dan me-ngasah sense of humanity (kepedulian terhadap sesama manusia) kita, karena bagai-manapun dan apapun alasan-nya, perbedaan adalah rahmat. Akan tetapi realitas yang terjadi di sekeliling kita hingga saat ini, seringkali perbedaan dimanfaatkan se-bagai alasan pembenaran yang dicari-cari untuk saling menyakiti dan parahnya untuk saling membunuh.

Sebuah contoh kecil dalam memandang suatu hal antara suatu kelompok satu  dengan yang lain, adalah keberbedaan dalam meman-dang momen pada hari pahlawan (10 November). Sekelompok organisasi me-mandang bahwa hari itu merupakan suatu momen un-tuk turun ke jalan (Baca: Demo),  untuk menuntut pe-ningkatan kesejahteraan ve-teran, akan tetapi kelompok profesi polisi memandang hari itu adalah hari yang benar-benar merepotkan, karena mereka setidaknya untuk be-berapa jam harus menertib-kan massa pengunjuk rasa, (sebuah contoh perbedaan kepentingan).

 Saya memahami anda, Saya tidak ingin membentuk Anda, ataupun merekayasa ulang anda dan menjadikan anda merasa lebih baik Dengan menunjuk pada doktrin dasar empati realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan pribadi atau kelompok lain (kamus lengkap psikologi) cocok sekali untuk diterapkan di tengah-tengah  Megalomania (pera-saan sok besar) yang menyangkut,  suku, agama, ras, antar golongan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda serta rasa ketakutan dan kecurigaan akan sesuatu pada out group masing-masing kelompok.

Empati sesama manusia sebagai paradigma pluralisme adalah  paradigma yang dapat mempertemukan perbedaan-perbedaan tanpa menghilang-kan potensi-potensi dari perbedaan-perbedaan itu ka-rena di dalam empati yang ada hanya memahami dan mengerti tanpa adanya keharusan mengadili. Karena toh dalam masing-masing elemen dalam keberbedaan hanyalah menyimpan seba-gian dari sebuah kekuatan besar yang hanya akan muncul ketika perbedaan tersebut bertemu dan saling memahami serta mengisi satu sama lain.

Sebuah perubahan me-nuju kualitas kehidupan yang lebih baik memang harus dimulai dari diri sendiri dan kemudian membentuk kesa-daran bersama. Saya mem- percayai hal ini karena banyak hal di dunia yang tersusun dari elemen-elemen berbeda, akan tetapi saling menguat-kan satu sama lain.

Untuk memahami indi-vidu-individu maupun kelom-pok, kita harus berusaha untuk tidak mempengaruhi dan menghakiminya, melain-kan mencoba merasakan dan menghayati hal-hal yang di-alaminya. Sebab dengan mempengaruhi dan meng-hakimi seseorang ataupun ke-lompok beserta penga-lamannya, maka kita hanya akan menemukan orang atau kelompok itu sebagai se-seorang atau kelompok yang sesuai dengan harapan kita, sehingga kita tidak akan bisa memahami seseorang atau kelompok lain sebagaimana adanya.

(***)

Enter supporting content here